Selasa, 22 Januari 2013

Buah dari Kebaikan Hati : "Jodoh yang Baik"

Sedikit akan berbagi sebuah kisah inspiratif dari seorang pemuda bernama Said bin Ibrahim.
Pada suatu ketika Said bin Ibrahim berjalan di sebuah perkampungan dan menemukan sebuah Jambu yang baru saja jatuh dari pohonnya. Seketika itu, Said bin Ibrahim pun memakan buah jambu itu sampai setengahnya. Setelah buah jambu itu tersisa setengahnya, Said bin Ibrahim pun tersadar bahwa yang dimakan itu adalah bukan miliknya. Seketika itu, Said bin Ibrahim merasa bersalah karena telah memakan sesuatu yang bukan haknya (miliknya).
Merasa telah memakan buah jambu yang bukan miliknya itu, Said bin Ibrahim pun berusaha menemui pemilik pohon jambu tersebut. Tak berapa lama kemudian, pemilik pohon jambu itu berhasil ditemui. Said bin Ibrahim pun mengajukan permohonan maaf kepada sang pemilik dan meminta untuk dihalalkan buah jambu yang telah masuk kedalam perutnya.
Sang pemilik, tidak serta merta mengabulkan permohonan maaf Said bin Ibrahim. Pun juga tidak serta merta menghalalkan setengah buah jambu yang telah masuk ke dalam perut Said bin Ibrahim. Sang pemilik bersedia memberi maaf dan menghalalkan buah jambu itu dengan satu persyaratan yaitu : Said bin Ibrahim harus bersedia menikahi anak gadis dari Sang pemilik jambu itu. Namun, sebelumnya, sang pemilik menjelaskan bahwa  anak gadisnya adalah seorang yang tuli, bisu, buta dan lumpuh.
Mendengar persyaratan tersebut, Said bin Ibrahim pun terkejut. Pertanyaan yang menghantuinya adalah bagaimana mungkin ia menikahi seorang gadis yang tuli, bisu, buta dan lumpuh? Namun, karena merasa perbuatannya yang telah memakan sesuatu yang bukan miliknya dapat diganjar neraka oleh Allah Swt, dan atas dasar rasa takut kepada Allah Swt, maka Said bin Ibrahim pun menyanggupi persyaratan sang pemilik jambu tersebut.
Akhirnya, pada saat itu juga dihadirkanlah 2 orang saksi dan diadakan pula mahar untuk menjalankan proses ijab-qobul. Akhirnya, Said bin Ibrahim dan Anak Gadis Sang pemilik Jambu pun resmi sebagai pasangan suami-isteri. Mertuanya (sang pemilik pohon jambu) pun menyuruh Said bin Ibrahim mendatangi isterinya.
Said bin Ibrahim pun mendatangi isterinya yang telah menunggu di dalam kamar. Ketika memasuki kamar isterinya, Said bin Ibrahim pun mengucapkan salam dan seketika itu dijawab oleh isterinya dengan jawaban salam pula. Sang isteri yang memakai cadar tersebut pun melangkahkan kaki ke arah Said bin Ibrahim. Namun, belum sampai sang isteri di hadapannya, Said bin Ibrahim pun segera kembali ke mertuanya dan bertanya, kenapa sebelumnya disebutkan bahwa sang isteri adalah gadis yang tuli, bisu, buta dan lumpuh padahal sang gadis bisa menjawab salam-nya dan berjalan kearah-nya?
Akhirnya, sang mertua menjelaskan hal-hal berikut kepada Said bin Ibrahim :
1. Saya bilang dia Tuli karena anakku tidak pernah mendengar omongan-omongan yang tidak bermakna.
2. Saya bilang dia Bisu karena anakku tidak pernah berkata sesuatu yang sia-sia.
3. Saya bilang dia Buta karena anakku tidak pernah melihat sesuatu yang tidak bermanfaat.
4. Saya bilang dia Lumpuh karena anakku tidak  pernah berjalan dan melangkahkan kaki ke tempat-tempat maksiat.
Seketika itu, Said bin Ibrahim pun mengerti makna dari kejadian-kejadian yang telah ia lalui sebelumnya. Ia percaya bahwa ini adalah bagian dari karunia Allah Swt yang memberikan dia hadiah (jodoh) yang baik karena kebaikan hatinya
Akhirnya, kedua insan tersebut membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dan dikaruniai anak yang salah satunya adalah : Abu Hanifah, yang kemudia kita kenal sebagai salah satu Imam Mazhab (Mazhab Hanafi).

Semoga bermanfaat. @andiauliar

sumber gambar : http://ri32.wordpress.com

Senin, 21 Januari 2013

Minggu, 20 Januari 2013

Berani Memilih, Berani Bertanggung Jawab


Ketika saya membaca buku biografi politik Akbar Tandjung, saya terusik dengan sebuah ajaran kehidupan yang Akbar Tandjung berikan kepada anak-anaknya, yaitu : “Terhadap suatu hal yang kita pilih, kita harus bertanggung jawab atas apa yang menjadi konsekuensi dari pilihan tersebut”. Atau mungkin dengan kata lain “Berani memilih, berani bertanggung jawab”.


Dalam hidup kita, sering kali atau bahkan setiap saat kita selalu dihadapkan pada sebuah pilihan. Pilihan-pilihan hidup itu membuat kita merasa sulit yang kemudian menjadikan kita berada dalam suatu titik bernama kebingungan. Namun, pada akhirnya toh kita tetap harus memilih pilihan-pilihan hidup yang tersaji dihadapan kita itu.


Dalam perjalanan hidup kita dalam menentukan pilihan-pilihan hidup, kita tidak sendiri. Terkadang, bahkan setiap saat, sebelum kita memutuskan suatu pilihan hidup, kita berkonsultasi dengan orang tua, sahabat, dan orang-orang yang kita percaya. Dalam konsultasi itu, seringkali muncul saran dari orang tua, sahabat, dan orang-orang yang kita percaya tersebut yang terkesan mengarahkan kita pada suatu pilihan. Ya, sekali lagi bahwa hasil konsultasi tersebut terkadang terkesan mengarahkan kita pada suatu pilihan. Apakah ini sebuah masalah? Tidak!. Karena pada hakikatnya, kita harus mampu untuk menjadikan  semuanya itu kembali kepada diri kita sendiri. Artinya, dalam memutuskan pilihan mana yang kita ambil , tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun (orang tua, sahabat ataupun orang yang kita percaya).


Atas putusan yang kita ambil tersebut, maka kita harus siap menghadapi segala macam konsekuensi. Kita harus bertanggung jawab atas pilihan kita.  Inilah yang saya sebut diatas dengan : “Berani Memilih, Berani Bertanggung Jawab”. 


sumber : www.google.com
Namun, dalam kehidupan kita sehari-hari, kadang kita terjebak pada suatu pemahaman bahwa ketika kita memilih akan ada penyebabnya. Misalkan, ketika kita menjatuhkan pilihan A karena disebabkan oleh sesuatu B (bisa karena sesuatu kondisi, ajakan orang lain, dll). Tapi karena pilihan A itu merugikan atau paling tidak ada hal yang tidak kita senangi setelah memilih A, kita kemudian berpikir untuk mungkin menyalahkan atau menyesali sesuatu B itu (menyalahkan keadaan, menyalahkan orang lain, dll).  Hal-hal seperti ini yang masih terkadang berada dalam pikiran kita, pun saya, terkadang masih berpikiran akan hal itu.


Inilah problematika kehidupan yang seakan belum bisa hilang dari manusia, belum berani bertanggung jawab akan pilihan-pilihan hidup yang kita tentukan. Kadang kita mengeluh, kadang juga kita menyalahkan keadaan. Bagi saya, itu fitrah manusia, tapi, sampai kapan kita harus terus mengeluh? Sampai kapan kita harus terus menyalahkan keadaan ketika pilihan-pilihan yang kita jatuhkan sendiri itu tidak memberi efek positif dalam kehidupan kita?


Tidak berguna kita menyesali pilihan yang kita ambil. Life must go on! Yang harus kita lakukan adalah mengambil pilihan yang terbaik. Hidup pun ada di tangan kita sendiri. Apapun hasilnya, apapun resikonya, itu adalah buah dari pilihan yang kita jatuhkan sendiri.


“So, berani memilih, berani bertanggung jawab “. Jangan lupa untuk selalu menyertakan Allah Swt dalam  setiap keputusan yang kita ambil. Semoga ini memberi hikmah untuk kita semua J